SOEHARTO file……Sisi Gelap Sejarah IndonesiaSejarah digerakkan oleh banyak kekuatan, termasuk individu. Seorang dari individu itu adalah Jenderal (Besar) Soeharto. Selama tiga dasawarsa, sang jenderal yang murah senyum itu menjadi kekuatan membentuk dan mewarnai, sekaligus mengubah (perjalanan) sejarah republik ini.
Sejarah, kita tahu, tidak hanya hitam putih. Banyak warna. Berikut ini terdapat tulisan blog saya yang dikutip dari buku Asvi Warman Adam yang berjudul Soeharto file–Sisi Gelap Sejarah Indonesia, dengan penerbit “Ombak” yang merupakan buku cetakan revisi Maret 2006. Buku ini merupakan potret sisi gelap sejarah Indonesia, yang menempatkan Soeharto sebagai kekuatan penting dalam perputaran roda sejarah. Sejarah adalah pertanggungjawaban dari masa silam. Tanpa melupakan “jasa” Soeharto selama berkuasa, ia juga diduga melakukan banyak pelanggaran HAM berat. “Pelanggaran HAM berat” ini merupakan sisi gelap yang harus dipertanggungjawabkan Soeharto di depanj hukum. Pada bukunya Asvi Warman Adam, mencatat bahwa ada sepuluh alasan untuk mengadili Soeharto. Sepuluh alasan mengadili Soeharto Wacana untuk memulihkan nama baik Soeharto kembali disuarakan oleh Partai Golkar, pada saat rakyat semakin menderita karena persoalan ekonomi yang kian sulit. Seakan-akan mantan presiden yang berkuasa semasa Orde baru itu tidak menanggung kesalahan atas keterpurukan ekonomi yang terjadi belakangan ini. Dalam situasi demikian, tuntutan untuk mengadili Soeharto perlu diteriakkan lagi. Pada bulan Januari 2003 Komnas HAM telah membentuk Tim Pengkajian Pelanggaran HAM Berat Soeharto. Tim itu telah menyelesaikan laporan bahwa Soeharto diduga terlibat dalam pelanggaran HAM selama ia berkuasa. Setelah tertunda sekian lama, masih penting dan relevan saat ini untuk mengadili mantan orang kuat Orde baru itu. Mengapa penting segera mengadili Soeharto ? 1. Sudah diperoleh berbagai indikasi tentang pelanggaran berat HAM yang dilakukan oleh Soeharto baik by commissionmaupun by omission. 2. Pengadilan akan membuktikan bahwa hukum itu tidak pandang bulu. Siapa saja termasuk Presiden bisa diadili. Bila terlaksana, hal ini merupakan angin segar bagi dunia hukum di tanah air yang masih dilanda kemarau yang berkepanjangan. 3. Proses hukum ini akan mendatangkan kebaikan bagi keluarga, masyarakat dan negara. Bila dalam persidangan, Soeharto dinyatakan tidak bersalah, namanya akan berkibar lagi di tengah masyarakat. Bila berbukti bersalah, sebaiknya ia diberi amnesti. Dengan demikian ia seharipun tidak akan menghuni sel penjara seperti halnya putranya Tommy Soeharto. 4. Dengan demikian masyarakat tidak berprasangka buruk kepadanya dan keluarganya. Dengan membiarkan kasus ini mengambang, ia akan dicap atau dipandang oleh masyarakat dengan tudingan yang belum tentu tepat seperti melakukan praktek KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme.) dan melanggar HAM. Perlu diakui bahwa ia telah melakukan pembangunan ekonomi secara fisik lebih maju daripada Presiden sebelumnya. Namun prestasinya ini—kalau boleh disebut demikian—diliputi awan mendung kejahatan kemanusian yang dilakukannya di masa pemerintahannya. 5. Bagi bangsa dan negara ini juga baik sekali bila kasus yang menimpa presiden pertama Soekarno tidak terulang lagi. Dulu dengan adanya TAP MPRS No XXXIII Thn 1967 Presiden Soekarno dikesankan membantu kudeta yang mencoba menggulingkan dirinya sendiri. Tentu hal ini tidak masuk akal. Tetapi bagi masyarakat kesannya bahwa ia terlibat dalam G30S. Seandainya Presiden Soekarno diadili tahun 1967, maka saya yakin ia akan dibebaskan karena tidak terbukti bersalah. Bung Karno meninggal dalam kondisi mengenaskan karena tidak mendapatkan perawatan kesehatan sebagaimana mestinya. Sekarang keadaannya jauh lebih bagus, oeharto dengan uang sendiri atau dengan biaya negara mendapat pemeriksaan kesehatan dari dokter terbaik di negeri ini. 6. Untuk penulisan sejarah di sekolah, sebaiknya hal-hal yang kelam pada masa lalu dapat diungkapkan. Apakah betul mantan Presiden era Orde Baru yang memerintah lebih dari 30 tahun itu terlibat KKN atau melanggar HAM ? 7. Soeharto sudah berusia lebih dari 80 tahun. Usia ini sudah melampui usia rata-rata orang indonesia. Semuanya di tangan Tuhan. Namun sebaiknya kita—meminjam istilah Aa Gym–”Menggenapkan Ikhtiar” agar seceopatnya perkara itu diputuskan. 8. Soeharto masih sehat, ia masih sempat membezuk para bekas menterinya yang sakit seperti Sudharmono atau melayat bila ada mantan pembantunya yang meninggal. 9. Kini sudah ada fasilitas teleconference yang dapat dimanfaatkan. kalau harganya dianggap mahal, pengadilan dilakukan dirumah Soeharto di Cendana. Jaksa senior Djoko Moeljo pernah melakukan hal yang sama di daerah. 10. Orde Reformasi perlu memisahkan diri dan membedakan diri dengan Orde Baru. Caranya dengan memutuskan kesinambungan praktek korupsi dan pelanggaran HAM masa lalu diantaranya dengan mengadili para pelakunya terutama yang termasuk top level. MENGAPA TANGGAL 20 MEI DIPERINGATI SEBAGAI HARI KEBANGKITAN NASIONAL ?
Setiap tahun tanggal 20 Mei diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Tanggal tersebut merupakan hari lahir Budi Utomo yang didirikan di Jakarta 20 Mei 1908. Belakangan ini sering timbul pertanyaan mengapa tanggal tersebut yang dipilih. Memang organisasi itu diakui sebagai organisasi modern pertama di Tanah Air kita, tetapi ruang lingkup keanggotaanya masih terbatas kepada orang Jawa (priyayi). Sementara itu, “cita-citanya adalah mempertahankan status quo dalam masyarakat social Jawa” (Savitri Scherer, 1985:267). Budi Utomo: Eksklusif
Penulis sejarah pada masa revolusi A.K. Pringgodigdo dalam buku Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia mengatakan bahwa: Walaupun Budi Utomo perkumpulan buat seluruh Jawa dan oleh karena itu bermula mempergunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa perantaraan, tetapi sudut social-culture Budi Utomo hanya memuaskan untuk penduduk Jawa Tengah. Sedangkan sejarawan Ricklefs, pengajar di Monash University, Australia menuturkan lebih lanjut tentang organisasi ini dengan versi yang berbeda dari buku pelajaran yang dipakai di Indonesia. Menurutnya, Dr. Wahidin Soedirohoesodo (1857-1917) adalah perintis organisasi yang pertama itu. sebagai seorang lulusan Sekolah Dokter Jawa di Weltevreden (yang sesudah tahun 1900 dinamakan Stovia), ia bekerja sebagai dokter pemerintah di Yogyakarta sampai tahun1899. Pada tahun 1901 dia menjadi redaktur majalah Retnadhoemilah (Ratna yang berkilauan) yang dicetak dalam bahasa Jawa dan Melayu untuk kalangan priyayi dan mencerminkan perhatian priyayi terhadap masalah-masalah yang berhubungan dengan status mereka. Selain seorang berpendidikan barat, Wahidin adalah seorang pemain music Jawa klasik dan wayang yang berbakat. Dia memandang bahwa kebudayaan Jawa dilandasi oleh ilham Hindu-Budha dan rupanya berpendapat bahwa sebagian penyebab kemerosotan masyarakat Jawa adalah kedatangan agama Islam dan berusaha memperbaiki masyarakat Jawa melalui pendidikan Belanda. Budi Utomo pada dasarnya tetap merupakan suatu organisasi priyayi Jawa. Organisasi ini secara resmi menetapkan bahwa bidang perhatiannya meliputi penduduk Jawa dan Madura, dengan demikian mencerminkan kesatuan administrasi kedua pulau itu mencakup masyarakat Sunda dan Madura yang kebudayaanya mempunyai kaitan erat deengan Jawa. Bukan bahasa Jawa melainkan bahasa Melayu yang dipilih sebagai bahasa resmi Budi Utomo. Namun demikian, kalangan priyayi Jawa dan dalam jumlah yang kecil Sunda, menjadi kelompok inti pendukung Budi Utomo. Rasa keunggulan budaya orang Jawa sering muncul ke permukaan bahkan di Bandung ada cabang-cabang tersendiri untuk anggota orang-orang Jawa dan Sunda. Budi Utomo tidak pernah memperoleh dukungn rakyat yang nyata pada kelas bawah dan jumlah anggotanya hanya paling banyak sekitar 10.000 orang, pada akhir tahun 1909. (Bandingkan dengan Sarekat Islam yang anggotanya mencapai ½ juta). Organisasi ini pada dasarnya merupakan lembaga yang mengutamakan kebudayaan dan pendidikan, serta jarang memainkan peran politik yang aktif. Boleh dikatakan bahwa Budi Utomo sudah mengalami kemandekan hampir sejak awal permulannya karena kekurangan dana dan kelangkaan kepemimpinan yang dinamis. Organisasi ini mendesak pemerintah untuk menyediakan lebih banyak pendidikan Barat, tetapi desakan itu tidak berarti. Di lain pihak, Gubernur Jenderal Van Heutsz menyambut baik Budi Utomo sebagai tanda keberhasilan politik etis. Memang itulah yang dikehendakinya suatu organisasi yang moderat yang dikendalikan oleh pejabat yang maju. Pada bulan Desember 1909 organisasi tersebut dinyatakan sebagai organisasi yang sah oleh pemerintah Hindia Belanda. Adanya sambutan hangat dari Batavia ini menyebabkan orang yang tidak puas dengan pemerintah, mencurigai Budi Utomo. Sepanjang sejarahnya, (organisasi ini secara resmi dibubarkan tahun 1935) sebenarnya Budi Utomo sering kali tampak sebagai partai pemerintah yang seakan-akan resmi. Sementara itu, penulis buku pelajaran sejarah zaman orde baru, termasuk Prof. Dr. Suhartono dari UGM memandang organisasi ini dari sudut pandang sangat positif. “Budi Utomo bukan hanya dikenal sebagai salah satu organisasi nasional yang pertama di Indonesia, tetapi juga sebagai salah satu organisasi yang terpanjang usianya sampai dengan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Memang Budi Utomo mempunyai arti penting, meskipun kalau dihitung jumlah anggotanya hanya 10 ribu sedangkan SI mencapai 360 rbu. BUlah penyebab berlangsungnya perubahan-perubahan politik sehingga terjadinya integrasi nasional, maka wajarlah kalau kelahiran BU tanggal 20 Mei disebut sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Lahirnya BU menampilkan fase pertama dari nasionalisme Indonesia. Fase ini menunjuk pada etnonasionalisme dan proses penyadaran diri terhadap identitas bangsa Jawa (Indonesia)” (Suhartono, 1994: 32). Rikclefs mengatakan bahwa eksistensi Budi Utomo hanya sampai tahun 1935, tetapi Suhartono melihat bahwa organisasi ini masih ada sampai proklamasi kemerdekaan. Guru-guru dapat menugaskan siswa untuk mencari informasi yang lebih akurat tentang waktu pembubaran Budi Utomo. Sarekat Islam:”Banjir Besar” Menurut pakar sejarah Sartono Kartodirdjo, Sarekat Islam dalam periode awal perkembangannya merupakan “banjir besar” dalam arti bahwa massa dapat dimobilisasi serentak secara besar-besaran, baik dari kota-kota maupun daerah pedesaaan. Timbullah suatu pergolakan yang melanda seluruh Indonesia. Gerakan massa semacam itu dianggap sebagai ancaman langsung terhadap penguasa colonial. Berbeda dengan gerakan-gerakan lainnya, SI merupakan gerakan total, artinya tidak terbatas pada orientasi satu tujuan, tetapi mencakup berbagai bidang aktivitas, ekonomi, social, politik, dan cultural. Tambahan pula di dalam gerakan itu agama islam berfungsi sebagai ideology sehingga gerakan itu lebih merupakan suatu revivalisme, yakni kehidupan kembali kepercayaan dengan jiwa atau semangat yang berkobar-kobar. Semangat religious tidak hanya menjiwai gerakan itu, tetapi juga memobilisasi pengikut yang banyak. Berpuluh cabang berdiri tersebar di seluruh Indonesia, sehingga pertumbuhan yang cepat itu membawa akibat bahwa sebagian besar pengikut gerakan itu belum mempunyai pengertian dan kesadaran sepenuhnya tentang tujuan dan kegiatannya, lebih-lebih mereka yang dari pedesaan. Dengan demikian sudah barang tentu timbul penyimpangan-penyimpangan serta penyalahgunaan perjuangan dan nama Sarekat Islam. Terjadilah peristiwa-peristiwa di mana rakyat membenarkan aksi kolektifnya dengan memakai nama SI. Pemerintah Hindia Belanda menghadapi masalah ini dengan hanya mengizinkan SI local, sehingga organisasi SI itu terisolasi satu sama lain. dengan demikian SI terpecah belah dan tidak dapat berkembang sebagai gerakan Nasional (Kartoidiordjo, 1990:109-110). Visi Kolonial dan Orde Baru Bagi pemerintah colonial Belanda jelas BU yang dipandang penting. Organisasi ini sesuai dengan pilitik etis yang dicanangkan mereka awal abad ke 20, ingin meningkatkan pendidkan tetapi tanpa terjun ke politik praktis. Sedangkan SI lebih dipandang sebagai gerakan yang berbahaya, sebab itu pengakuan pemerintah Kolonial terhadap perhimpunan ini hanya bersifat local. Pandangan serupa diteruskan oleh Pemerintah Orde Baru yang memandang orgnisasi seperti BU lebih cocok dengan program stabilitas nasional. Sedangkan perkumpulan seperti SI itu berrpotensi menimbulkan gejolak. Itulah sebabnya dalam buku-buku sejarah nasional kita Budi Utomo yang ditonjolkan. Bahkan selalu ditekankan bahwa organisasi tersebut tidak bersifat kedaerahan. Kini bingkai sejarah lama itu telah retak. Perlu dibuat yang baru. Referensi: Adam, Asvi Warman. 2007. Seabad Kontroversi Sejarah.Yogyakarta:Ombak Aco Manafe, Suara Pembaruan 1 Maret 2002 Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah Wacana Pergerakan Islam Di Indonesia. Bandung, Mizan, 1995 |
Tidak akan bergejolakAda kalangan yang berpendapat bahwa bila dilakukan pengadilan HAM ad hoc terhadap Soeharto mungkin masyarakat akan resah atau terjadi konflik antara kelompok pendukung dan anti Soeharto. Ketakutan itu tidak perlu muncul bila alasan yang masuk akal disampaikan kepada masyarakat.
Pengadilan terhadap mantan Presiden Soeharto ini bukan arena balas dendam. Justru ini demi rasa keadilan jutaan korban yang telah melanggar haknya sebagai manusia selama ini. Siapa pun yang bersalah harus dihukum. Bila masih ada rasa dendam, masak tokoh seperti Ali Sadikin mengusulkan agar Soeharto diberi amnesti setelah diadili. Kalau masih dendam, tentu para korban rezim Orde Baru itu senang sekali bila Soeharto masuk bui, tetapi malah mereka menyarankan agar kepala negara memberikan pengampunan (seusai proses pengadilan). Terserah kepada bangsa kita ini apakah kita akan mengulangi kesalahan terhadap Bung Karno tempo hari dengan membiarkan kasusnya Soeharto mengambang atau segera mengadilinnya. Ia sekarang sudah bisa kemana-mana termasuk ke Solo dan Nusakambangan. Ia bisa senyum dan berbiacara. Kalau enggan datang ke pengadilan bukankah sekarang sudah ada fasilitas telecoference , sehingga Soeharto bisa menjawab pertanyaan hakim dan jaksa sambil tiduran dirumahnya. BERIKUT INI ADA YANG LEBIH MENARIK LAGI TENTANG SISI GELAP SEJARAH INDONESIA.
1. SOEHARTO DAN POLITIK TENTARA
A. Dari Testamen Politik Soekarno Sampai Supersemar Keluarnya Supersemar dari Presiden Soekarno kepada Soeharto bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri, namun ini berhubungan dengan Testamen Politik Soekarno tahun 1945 dan peristiwa 3 Juli 1946. Ada pula pengamat yg melihat Gerakan 30 September 1965 merupakan satu rangkaian dengan Supersemar. …..tulisan berikutnya menyusul yaa,,,,,,,hehehehehe :) Redefinisi PahlawanAhmad Husein
REDEFINISI PAHLAWAN
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia terbitan pusat bahasa (1988), kata pahlawan berarti orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran. Jadi ada tiga aspek kepahlawanan, yaitu keberanian, pengorbanan, dan membela kebenaran. Sebelum atau sesudah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan dalam berhadapan dengan penjajah, definisi pahlawan itu lebih mudah dirumuskan. Tokoh-tokoh yang dianggap Belanda sebagai pemberontak dijadikan pahlawan setelah kita merdeka. Demikian pula dengan tokoh tokoh yang berjuang dalam kemiliteran dan politik untuk mencapai kemerdekaan dapat diangkat menjadi pahlawan. Bukan hanya perorangan tapi kelompok atau rakyat pun dapat juga dikategorikan sebagai pahlawan. Contohnya pada tahun 1945 rakyat Surabaya dengan gagah berani melawan sekutu. Mereka harus menyeahkan senjata pada 10 November 1945. Namun, ultimatum itu ditolak dan pasukan sekutu melakukan penyerangan dari udara dan darat. Ribuan warga Surabaya menjadi korban. Uniknya perlawanan itu bukan atas intruksi pemerintah pusat, namun pemimpin yang menyerukan rakyat untuk melawan tentara penjajah. Setelah Indonesia diperintah oleh bangsa sendiri, bagaimana menentukan criteria pahlawan ? kriteria berani dengan mudah dapat ditemui setelah era reformasi. Orang bebas mengkritik pemerintah bahkan presiden, hal yang mustahil pada masa orde baru. Kini makin sedikit orang rela berkorban untuk masyarakat, meski masih ada. Bagaimana menjabarkan criteria membela kebenaran ? ini tampak jelas pada zaman penjajahan, seakan batasan itu bersifat hitam putih. Memperjuangkan kemerdekaan dengan mengusir penjajah termasuk membela kebenaran. Tetapi, kini keadaanya menjadi lain. apakah mengkritik pemerintah yang sedang berkuasa termasuk membela kebenaran ? Ketentuan yang ada dalam Peraturan Presiden RI Nomor 33 Tahun 1964 tampaknya perlu ditinjau kembali. Di situ, yang dimaksuk pahlawan adalah warga Negara RI yang gugur dalam perjuangan yang bermutu dalam membela bangsa dan Negara, warga Negara RI yang berjasa membela bangsa dan Negara yang dalam riwayat hidup selanjutnya tidak ternoda oleh suatu perbuatan yang membuat cacat nilai perjuangan. Kriteria pertama ditujukan kepada militer yang gugur dalam menunaikan tugas. Sedangkan criteria kedua merupakan persyaratan bagi kalangan sipil. Anehnya, di sini dicantumkan syarat “tidak ternoda” ini sengaja untuk menganjal tokoh-tokoh yang pernah terlibat dalam peristiwa PRRI/Permesta dan pergolakan lainnya. M. Natsir tokoh Islam yang diakui secara nasional dan internasional, tidak akan dapat menjadi pahlawan karena dinilai terlibat PRRI tahun 1958. Demikian pula dengan Syafrudin Prawiranegara yang berjasa memimpin PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia). Pahlawan atau Pemberontak ? Tahun 2001 terbit buku Perlawanan Seorang Pejuang: Biografi Kolonel Ahmad Husen ditulis oleh Mestika Zed dan Hasril Chaniago. Perntanyaan yang muncul, colonel yang memimpin Dewan Banteng lalu Dewan Perjuangan itu pahlawan atau pemberontak ? Dalam pengajaran sejarah selama Orde Baru dia tergolong pemberontak. Namun, bukankah sejarah pada masa pemerintahan terdahulu ditulis oleh pemenang pada era reformasi ini prinsip itu telah berubah, sejarah juga boleh ditulis oleh pihak yang kalah. Untuk kasus Ahmad Husein, kita perlu memilah-milah. Misalnya Ahmad Husein adalah pahlawan dan pejuang melawan Belanda. Tetapi, ia pemberontak pada peristiwa PRRI. Pada diri seseorang bisa terkandung berbagai unsure, menjadi pahlawan pada tingkat daerah, meski dianggap pemberontak oleh pemerintah pusat. Jadi, jawabannya bukan si A pahlawan atau pemberontak, namun pada periode tertentu ia pemberontak dan pada periode yang lain bisa menjadi pemberontak. Solusi semacam ini dapat memperluas wawasan masyarakat tentang perlajalanan waktu, selain mencegah kultus individu, pahlawan punya kelemahan dan kekeurangan. Kasus mengenai Abdul Qahhar Mudzakar Kasus lain menyangkut Abdul Qahhar Mudzakkar (sebagaimana ditulis Anhar Gonggong dalam buku Dari Patriot hingga Pemberontak, Grasindo, 1992). Mudzakar adalah perwira militer yang dikecewakan pusat. Keingginannya membentuk Brigade Hassanuddin ditolak. Yang menjadi komandan di daerah adalah perwira dari Minahasa, pertama colonel Lembong lalu Kolonel Warouw. Persoalan intern militer ini didukung factor budaya local siri-pesse, harga diri dicampakkan, muncul rasa kebersamaan antara warga setempat.
Ahmad Husein kecewa karena ribuan anak buahnya yang tidak aktif lagi di dinas militer terlunta-lunta hidupnya. Jadi, awalnya adalah kekecewaan di dalam profesi. Aritnya, ini persoalan intern tentara. Lalu muncul aspek budaya local dan ketidakpuasan masyarakat daerah. Di Sulawesi Selatan gerakan itu di beri label Islam dan di Sumatera Barat di dasari dengan ideology antikomunisme. Tetapi sekali lagi, label agama dan ideology sebetulnya sesuatu yang ditempelkan belakangan. Kalau begitu, apakah dapat disepakati, bukan faktor agama atau ideology yang menjadikan seseorang sebagai pahlawan. Ahmad Husein tidak dianggap pahlawan karena antikomunisme, juga pula Mudzakkar tidak dianggap idola oleh masyarakat Sulawesi Selatan karena memakai label Islam dalam perjuangan. Bila diproses lebih lanjut, apakah Jenderal Yani dan kawan-kawan yang tewas 1 Oktober 1965 menjadi pahlawan karena semata-mata mereka menentang komunisme. Di kubu lain, apakah Omar Dani pahlawan atau tidak ? Bila bukan ideologi lalu apa yang menyebabkan seorang tokoh dianggap sebagai pahlawan. Sudah terang mereka membela kepentingan orang banyak. Yang jadi masalah, bagaimana bila kepentingan “orang banyak” (regional) ini berbenturan dengan kepentingan orang yang lebih banyak (nasional). Aneh juga penamaan korban 1 Oktober 1965 sebagai “Pahlawan Revolusi”? Bukankah dalam sejarah Indonesia 1945-1949 digambarkan sebagai masa revolusi fisik (menghadapi penjajah Belanda/sekutu) dan itu sudah berakhir. Bila revolusi itu sudah selesai, mengapa muncul embel-embel revolusi setelah kata pahlawan itu. bukankah mereka gugur karena ditembak militer yang lain, Cakrabirawa. Pertanyaan penting, meski agak mengganggu apakah kisah pahlawan itu melulu kisah orang-orang yang kecewa ? Diponegoro kecewa soal tanah. Qahhar Mudzakkar kecewa soal kedudukan militer. Husein juga kecewa soal nasib ribuan anak buahnya yang terlunta-lunta setelah tidak lagi aktif dalam dinas ketentaraan. Yang repot adalah guru sejarah unuk menjawab pertanyaan itu, tidak gampang menjawab apakah mereka itu pemberontak atau pahlawan. Yang mudah dikatakan adalah tidak semua yang disemayamkan di TMP Kalibata adalah pahlawan, di sana ada juga orang yang diduga pelaku korupsi. Referensi: Adam, Asvi Warman. 2007. Seabad Kontroversi Sejarah.Yogyakarta:Ombak Aco Manafe, Suara Pembaruan 1 Maret 2002 Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah Wacana Pergerakan Islam Di Indonesia. Bandung, Mizan, 1995 MENCARI DIMENSI BARU
|
|